BAB : DUA
PEMBINAAN PRIBADI
Sebagai mana
telah diuraikan, bahwasanya tashauf adalah merupakan dasar pokok kekuatan
bathin, pembersih jiwa, pemupuk iman, penyubur ‘amal shalih, semata-mata
mencari keridhoan Allah memperkuat daya juang dalam latihan jiwa, untuk
Ma’rifatullah. (Mengenal Allah), setingkat demi setingkat hingga sampai pada
maqom fana yaitu lebur peribadi pada kebaqoan Allah, dalam keadaan mana semua
rahasia yang membatasi diri dengan Allah tersingkap, kasyfa, ahadiyah,
wahidiyah, wahdah, dalam baqonya satu pada ‘abid dan ma’bud, yang menyembah dan
yang disembah dimana seorang itu sampai pada Haqeqat sebagai ujung dari semua
perjalanan.
Dengan jalan
tashauf / thoreqat seseorang dapat mengenal Tuhannya, dan dia merasakan
wujudnya, tidak sekedar mengetahui bahwa Allah itu bershifat Wujud maka Fana
dapat diartikan dengan bahasa falsafah : (Mentiadakan Diri Supaya Ada), maka mencapai ma’rifat
diperlukan melalui : Syare’at (Peraturan), thoreqat (pelaksanaan), Haqeqat (Kenyataan).
Adapun
tatacara urusannya mesti ditempuh untuk mencapai tujuan itu pada pokoknya ialah: (Takhalli) , Membersihkan diri Zhohir
dan Bathin dari segala shifat2 dan perangai yang tercela, menjauhi Ma’siat
Zhohir dan Bathin, lalu (Tahalli)
mengisi diri dengan shifat2 yang terpuji, tho’at zhohir dan tho’at bathin,
barulah (Tajalli) memperoleh
kenyataan.
Maka pintu
yang menghantarkan pada (Fana) adalah (Dawamudz dzikri), artinya : tetap
berkekalan mengingati Allah, dan (Dawamun nitsani), artinya : tetap berkekalan
lupa pada selain Allah, lalu dzikirnya meliputi (Dzikrul lisaani) artinya : Dzikir
dengan lisan,
(Dzikrul qalbi) artinya : Dzikir hati , (Dzikrus-sirri audzikrruuhi)
artinya : Dzikir rahasia atau Dzikir nyawa.
Adapun dinding
atau hijab yang seolah-olah membatasi diri dengan Allah dzat yang wajib
wujudnya itu ialah (Hawa Nafsu) kita sendiri, maka dalam usaha mengangkatkan
hijab itulah maka, dilaksanakan latihan-latihan / riyadhoh / mujahadah menempuh
tatacara (Takholli , Tahalli , Tajalli), tersebut, maka tiada lain mendahulukan
pembinaan peribadi dalam mengutamakan perbaikan (Akhlaq) yang merupakan titik
tolak beragama, karena demikian itu telah disyare’atkan sabda Rasulullah SAW.
Innamaa
bu’itstu liutammima makarimal akhlaq
Artinya :
sesungguhnya daku ini diutus oleh Allah untuk mengutamakan penyempurnanya
akhlaq.
Imam Ghazali
r.a. berkata : bahwa tujuan perbaikan (Akhlaq) itu ialah dengan membersihkan hati dari
kotoran-kotoran (Hawa Nafsu) dan amarah, agar hati menjadi bersih, suci
bagaikan cermin, siapa menerima Nur cahya Tuhan.
Firman Allah ta’ala :
Faman kana
yarjuu liqooa robbihi falya’mal ‘amalan sholihan wala yusrik bi’ibadati robbihi
ahadan (al-kahfi–11)
Artinya : maka
barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Allah hendaknya dia mengerjakan ‘amala
yang shalih. Dan jangan ia mempersekutukan sesuatu apapun dalam ber’ibadat
kepadanya, Perhatikan pula firman Allah
ta’ala :
Wa’bud
robbaka hatta ya’tiyakal yaqiin ( al-hajar – 99 )
Artinya : dan sembahlah tuhanmu sampai datang kepadamu yang
diyakini ( Ajal )
Maka berarti
untuk mencapai perjumpaan dengan Allah mestilah mengemarkan ‘amal-‘amal shalih
/ segala kewajiban yaitulah berakhlaq baik berperangai ikhsan, dan landasan
untuk itu pertama-tama shifat Shabar, sebab tiada sahifat shalih manakala tiada
shabar dan shifat shalih itu pun bertandakan shifat syukur dan shifat ridho
atau ikhlash.
1.
Shabar :
Menurut Imam
Ghazali : bahwa yang dinamakan shabar itu ialah meninggalkan hal
pekerjaan yang digerakkan oleh “Hawa Nafsu“ dan tetap pada pendirian Agama yang mungkin
bertentangan dengan “Hawa Nafsu“ , lantaran semata-mata menghendaki
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Memang shabar
itulah merupakan (jihad / perjuangan) besar untuk menghadapi (Hawa Nafsu)
bagi kembali pulang kepada tuhan. Firman
Allah ta’ala :
Wasta’iinu
bishshobri washshalat, wainnaha lakabiirotun illa ‘alalkhosi’iin , alladziina
yadzunnuna annahum malaquu robbihim wainnahum ilaihi roji’uun (al-baqarah–45-46)
Artinya :
jadikanlah shabar dan shalat itu penolak dan sesungguhnya yang demikian itu
berat kecuali
bagi orang yang khusyu’ yaitu orang yang meyaqini bahwa mereka itu akan menemui
tuhan dan bahwa mereka akan kembali pada Allah.
Sifat shobar
diakui sebagai suatu yang (Berat) yang demikian istimewanya karena hanya dapat
dipikul oleh orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang selalu
pandangannya kepada Allah semata-mata baik ‘itiqadnya dan bener tujuannya, kuat
menahan dan memikul segala kesakitan dan keberatan dalam mentho’ati peraturan
Agama, baik itu berupa perintah atau yang berupa larangan.
Ahli filsafat
mengatakan bahwa : dengan Ilmu saja tidaklah cukup melakukan dasar yang utama
bagi suatu kesempurnaan, tiada tho’at jika tiada shabar,
Qaum shufi
memberi perincian tentang shabar sebagai berikut :
1. shabar pada tho’at :
manusia
mempunyai kekhushushan tersendiri : menghadapi banyak pengawasan atas dirinya
dalam suatu tugas kewajiban dalam rangka Tho’at, maka shifat shabar adalah
menjadi penolong dan pengawasannya dalam tiga keadaan :
pertama :
shabar sebelum
tho’at : ialah niyat yang (Ikhlash),
tujuan yang shaheh serta dengan keyakinan Agama merasa berkewajiban menerima
peraturan berupa perintah atau larangan.
Kedua :
Shabar
melaksanakan Tho’at ialah melaksanakan segala kewajiban Agama, sampai selesai
baik berkala maupun yang terus menerus dengan penuh kesungguhan dan rasa
tanggung jawab.
Ketiga :
Shabar setelah
Tho’at ialah tidak merasa bangga dengan selesainya tugas pekerjaan, tidak
menghitung-hitung jasa, tidak iri hati atas kelebihan atau kekurangan orang
lain, tidak riya untuk dikagumi hasil usahanya, tidak pamrih.
2.
Shabar pada kewajiban :
Mengetahui
sesuatu kewajiban saja tidak cukup untuk dapat mengerjakannya tampa adanya
keshabaran, sama halnya dengan mengetahui sesuatu larangan itu belum tentu
dapat meninggalkannya manakala tampa adanya keshabaran, misalnya dalam
menunaikan Shalat–Zakat–Puasa–‘Ibadah
haji–Dzikrullah–Wirid–wirid itu sangat memerlukan keshabaran,
seumpama mengerjakan Shalat pardhu lima kali sehari semalam saja adalah
mendidik diri peribadi untuk membiyasakan shabar menjadi Thobe’at sehari-hari
dalam mengharap ridho Allah, begitupun dengan puasa, apalagi dengan membanyakan
‘amal-‘amalan yang sunat-sunat maka shabar dan shalat betul-betul banyak
mengandung Hikmah dan mengundang shifat-shifat yang terpuji seperti antara lain
: Tho’at–Patuh–Setia–Tanggung
jawab–Lurus–Menepati Janji–Menghargai Waktu–Taqwa–Lembut–Berbudi Halus– Cinta
damai dan Kerukunan–tenang dan yang seperti itu yakni semua
shifat-shifat yang terpuji.
3.
Shabar dalam beberapa bagian :
Yaitu pada
terbaginya menurut hukum :
· Shabar dilakukan untuk menjauhkan diri dari pada segala yang
haram, hukumnya itu : Wajib, sama
dalam hal untuk melaksanakan yang : Pardhu, ……………….
· Shabar dilakukan untuk melaksanakan yang sunat-sunat atau
untuk menjauhi yang makruh, itu hukumnya : Sunat.
· Shabar dalam menjalankan hukuman diri sebab pelanggaran
hukumnya : Mubah.
· Shabar dalam dalam menegakkan kehormatan peribadi dan / haq
memiliki peribadi, maka hukumnya itu : Haram.
Itulah namanya
shabar menjalankan dan mentho’ati hukum Allah adalah segi berjuang diatas jalan
Allah, mati dalam perjuangan diatas jalan Allah itu mati Syahid yakni
berjuangan pada yang bersifat Amar Ma’aruf dan Nahii Munkar. Melakukan shabar
pada yang demikian dinamakan (Shabar Suja’ah) Shabar berani, memang shabar
demikian semakin tambah Berat, tetapai mulya.
Panglima perang dimasa Rasulullah SAW,yaitu Kholid bin Walid
berkata : wahai keluarga Islam, shabar itu kemulyaan dan kalah itu sesuatu kehinaan,
kemenangan adalah keshabaran. Firman
Allah ta’ala :
Washbiruu,
innallaha ma’ashshobiriin ( al-anfal – 46 )
Artinya : dan
bershabarlah kamu sekalian, sesuangguhnya Allah besrta orang-orang yang shabar,
satu-satunya kekuatan daya ketahanan itulah shabar baik segi duniawi maupun
segi Akhirat. Firman Allah ta’ala :
Ulaaika
yujzaonal ghurfata bimaa shobaruu wayulaqqoona fiiha tahiyyatan wasalaaman (al-furqon – 75)
Artinya :
mereka itulah orang-orang yang dianugrahi Allah dengan martabat yang mulya (dalam
syurga) karena kesabarannya dan mereka disebut dengan kehormatan dan upacara
selamat.
2. Sykur :
syukur itu
adalah suatu shifat yang terpuji dan dipuji oleh Allahdan adalah dia salasatu
tiang utama pada perbaikan Akhlaq dan pembinaan peribadi manusia, orang yang
tidak tahu bersukur / berterima kasih atas Ni’mat –ni’mat yang diperolehnya
maka kesusahanlah yang akan menyertainya, dan shifat tidak mensyukuri ni’mat
Allah itu adalah Kufur yang tiada disukai oleh Allah dan tentu dibalas dengan
‘Azab yang pedih.
Adapun
termasuk dalam arti syukur ialah keadaan seseorang mempergunakan ni’mat yang
dilimpahkan oleh Allah kepadanya itu kepada kebajikan melulu
seperti (Tangan)
digunakan untuk bekerja dan berusaha mencari Rizqi yang Halal dan pada
perbuatan menolong sesama manusia yang menderita kesusahan, (‘Aqal) dimanfaatkan bagi menambah ilmu
pengetahuan yang berguna bagi sesama Makhluq, dan dirinya di’abdikan untuk
beribadat kepada Allah ta’ala dan berbakti kepada masyarakat dan yang seperti
itu pula.
3.Taubat :
taubat adalah suatu shifat yang
terpuji dan dipuji oleh allah ta’ala, sebagaimana firmannya :
Innallaha
yuhibbut-tawabiina wayuhibbul mutathohiriina ( al-baqarah – 222 )
Artinya :
sesungguhnya Allah mensukai orang-orang yang taubat dan mensukai orang-orang
yang mensucikan diri.
Syukur dan taubat mestinya selalu
berdampingan, karena keduanya itu sebenarnya dalam satu “ Kandungan “ Dzikrullah, maksudnya tiada dapat dianggap adanya
Dzikirllah manakala tiada mengandung Syukur dan Taubat, sebagaimana sebaliknya
tiada dapat dianggap ada Syukur dan Taubat manakala tiada Dzikrullah (Mengingat Allah) didalamnya.
Taubat
berarti dua jurusan, yaitu :
Pertama :
segera berhenti mengerjakan
Ma’siat–Kejahatan–Pelanggaran menyesali karana Allah dan berhasrat kuat untuk
tidak memperbuat lagi Ma’shiat / Pelanggaran itu yang semata-mata karena Allah
bukan karena takut atau malu pada Makhluq, sambil memohon kepada Allah limpah
karunia ampunannya,
Kedua :
Sadari karena Allah (Mengingat Allah) tidak mempergunakan segala
ni’mat dari Allah pada jalan Ma’shiat / Pelanggaran walaupun masih memiliki
kemampuan diri tidak mampuh atau bukan karena takut atau malu pada sesama
Makhluq melainkan karena memandang pada Wujudullah ta’ala jua.
Lihatlah
umpamanya hikmah rahasia pada wudhu ; tangan dibasuh sambil taubat ya’ni ,
memohon ampunannya dan berjanji diri untuk tidak mempergunakan tangan itu pada
perbuatan yang terlarang oleh Allah, begitu juga mulut berkumur ya’ni bersuci
dari pada kejahatan mulut pada ucapan dan minum, wajah muka dobasuh ya’ni
taubat dan bersuci dari segala kejahatan muka, penglihatan Mata, Hidung–Kuping–Kaki dibasuh maksudnya taubat dan bersuci
dari segala kejahatan kesalahan berpikir, demikian pun dengan hikmah mandi ( Junub ) mengandung maksud taubat dan
bersuci dari segala Dosa bahkan sampai pada Dosa anga-angan dan Siir perasaan,
maka taubat adalah juga sokoguru (tiang
utama) menunjang tegaknya Akhlaq yang baik.
4. Radhoa bilqodho :
pada umumnya
manusia itu sukar menerima keadaan-kedaan yang biasa menimpah dirinya seperti :
Kemiskinan / Kekurangan –Kerugian–Kehilangan barang atau harta banda atau
pangkat kedudukan–Sakit–Kematian keluarga–dan lain-lain sebagainya
yang dapat mengurangi kesenangannya.
Yang dapat
bertahan dalam kesukaran dan cobaan-cobaan seperti itu hanyalah orang-orang
yang telah mempunyai shifat (Ridho) artinya : Rela menerima
Allah dengan apa yang dilimpahkan dan ditakdirkan oleh Allah kepadanya dan
tetap Rela berjuang atas jalan Allah, Rela menghadapi segala kesukaran, Rela
membela kebenaran, Rela berkorban harta–tenaga–pikiran bahkan nyawa raga sekalipun bagi
Agama Islam karena Allah semata-mata.Telah
diceritakan oleh Rasulullah SAW. Sebuah hadits qudsi :
Qolallahu ta’ala : Innani anallahu
laailaaha illa anaa , man lam yashbir ‘alaa balaaii walam yasykur lina’maaii
walam yardho biqodhooii, falyakhruj min tahti samaaii walyathlub robban siwaya.
Artinya : bahwasanya Allah ta’ala berfirman :
sesungguhnya kami inilah Allah, tiada ada tuhan sebenarnya selain kami, maka
barang siapa yang tidak bershobar atas cobaanku , tidak bersyukur atas ni’mat
daripada kami dan tidak Rela terhadap ketentuanku maka hendaklah dia keluar
dari langit ketinggian kami dan carilah tuhan yang lain daripada kami.
Demikianlah
sesuai dengan sunah Nabi SAW. Maka mendidik orang seorang itu pertama-tama
dengan perbaikan Akhlaq, yaitu lebih dahulu membekali peribadi dengan shifat : Shabar–Syukur–Taubat–Radho
, agar tercapai peningkatan dari Muslim biasa ketingkat Mukminin baik ketingkat
Mukhsiniin lalu ketingkat Muttaqiin sampai ketingkat Muqarrobiin dan ‘Arifiin,
Seseorang baru
dapat bershifat dan ber’amal shaleh yang dengan itu tentu Af’al perbuatannya
Shaleh maka dia adalah seorang hamba Allah yang baik (‘Abid) dan manakala dia sudah
menjadi demikian, tentu dia dianugrahi Allah dengan Ilmu yang terpancar dalam
hatinya, jadilah dia seorang berilmu (‘Aliim) dengan ilmu-ilmu yang murni, sebagaimana
firman Allah :
Wainnahu
ladu’ilmin limaa’alamnahu walakinna aksyaronnaasi laya’lamuun ( yusuf – 68 )
Artinya : dan
sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan karena kami (Allah) telah mengajarkan kepadanya
akan tetapi (walaupun) kebanyakkan manusia tiada
mengetahui. dan lagi firmannya :
Wa’alamnahu
min ladunnaa ‘ilman ( kahfi – 66 ),= Artinya : dan kami ajarkan kepadanya
dari sisi kami (langsung) ilmu
pengetahuan. dan lagi firmannya :
Wayu’allimuhul
kitaba walhikmata wattaurota walinjila, (al-imran–48),= Artinya : dan Allah
mengajarkan kepadanya alkitab ( ….. al-qur’an) dan ilmu hikmah (pengetahuan umum keduniaan dan keakhiratan
beserta taurot dan injiil). dan
lagi firmannya :
Wattaqullaha,
wayu’allimakumullahu, wallalu bukulli syaiin ‘aliim, ( al-baqarah – 282 ),= Artinya
: dan bertakwalah kalian kepada allah, nanti Allah mengajarknn ilmu pada kalian
dan Allah Maha mengetahui atas tiap-tiap sesuatu.
Sebagaimana
telah kita terangkan seperti apa yang dikatakan oleh Khodimii, bahwa Thoreqat
itu sebenarnya sebenarnya sudah termasuk kedalam ilmu Mukasyafah, yang
membicarakan nur cahya kedalam hati pengamalannya sehingga dengan itu terbukalah
baginya segala sesuatu yang (Ghoib) dari ucapan-ucapan Nabinya dan
Rahasia-rahasia Tuhannya, ‘Ilmu Mukasyafah itu tidak dapat (dipelajari) tidak ada sekolahnya tetapi
dapat diperoleh dengan (Riyadhoh dan Mujahadah) ketekunan melatih diri dengan
sungguh-sungguh dengan (Shabar- Shaleh–Ridho) yang merupakan pendahuluan
bagi limpah petunjuk Tuhan, sesuai dengan firmannya.
Walladziina
jahadu fiinaa lanahdi yannahum subulana, wainnallaha lama’al khosiniin (al-ankabut–69),=
Artinya : bahwa mereka yang bersunguh-sungguh untuk mencapai (Kami) akan kami beri petunjuk kepada
mereka itu akan jalan-jalan kami, dan sesungguhnyalah Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat kebajikan (Ihsan).
Maka orang-orang
yang sudah sampai kepada tingkat suci bersih, setelah melalui segala ujian
Mujahadah dan lalu mendapat (Kasyfa) maka tidak mustahil
sampailah dia kedalam pangkat (Waliyullah),
mendapat kebenaran dan ketinggian bartabat jiwa menghampiri Nabi SA.
Walaupun
mereka itu manusia-manusia seperti kita juga, tetapi mereka itu mempunyai Hati
dan Ruuhani yang suci bersih daripada segala sifat yang tercela lagi selalu
khudhur Hatinya serta Allah, maka dengan mudah Hatinya menerima pancaran Nur
Cahya dari Ilmu yang tidak terjangkau oleh Pancaindra , sehingga beliau- beliau
itu dapatlah mengerjakan pekerjaan-pkerjaan yang besar lagi Berat karena
jiwanya yang besar dengan idzin Allah, begitulah para Rasul-rasul
dipakaikan oleh Allah ta’ala kepadanya dengan (Mu’jizat) dan adapun kepada para
Aulia Allah dipakekan oleh Allah apa-apa yang disebut (Karomah), artinya : Tingkat kemulyaan .
Bahwasanya
sesungguhnya mencapai martabat (Waliyullah)
itu dengan Iman dan Taqwa, maka tiang-tiang Taqwa itu adalah ‘amal Shaleh yang
diterima oleh Allah, tiadalah kewalian Allah tampa Iman dan Taqwa.
Pokok
tangkal Iman dan Taqwa itu ialah Iman kepada para Rasulullah a.s. dan Iman
kepada semua Rasul-rasul itu tercamtum didalamnya kepada Rasulullah, yang
penutup ya’ni Saidina Muhammad SAW. Maka Iman kepada Nabi Muhammad SAW. Sudah
mencakup pula kepada Kitab-kitab Allah dan utusan-utusan adapun manusia dalam
hal Iman dan Taqwa ada lebih kurangnya, maka para waliyullah pun juga ada lebih
kurang kewaliannya menurut qadar Iman dan Taqwa.
Ada dikalangan manusia
yang beriman kepada Rasulullah SAW. Itu secara umum serta menyeluruh, tetapi
ada juga yang beriman yang menyangkut secara terperinci, yaitu secara umum
menyeluruh dia berpokok Yaqiin kepada apa yang datang kepada para Rasul itu
adalah dari Allah, bahwasanya dengan Taqwanya itu dan inilah Maqomnya
Waliyullah, bahwasanya para waliyllah itu
tidak berbeda
dengan manusia banyak dalam hal berpakaian, berumah tangga, makan minum dan
hal-hal zhohiriyah yang diperbolehkan Agama, tetapi berbeda dengan Rasulullah
SAW. Maka waliyullah itu tidak mesti ma’shum (terpelihara dari segala dosa), boleh jadi sekali , ada salah atau
keliru ,
bahkan mungkin saja waliyullah itu sampai dari sebagian ilmu Syare’at dan boleh
jadi pula sebagian salah-salah fiqih aysyare’ati karena lebih mempertuhankannya
pada urusan-urusan itu
pada bagian
perintah allah atau larangan Allah terpuji atau tercela. Firman Allah ta’ala :
Alaa inna
auliallahi lakhaufa ‘alaihim walahum yahzanuun , alladzina amanuu wakanuu
yattaquun, lahumuilbutsroo fiilhayatiddunya wafiil akhiroti, latasdiila
likalimatillahi,dzalika huwalfauzul’azhiim ( yunus – 63 – 64 ).= Artinya :
ingatlah, sesungguhnya wali-wali allah itu tidak ada kehawatiran (Takut) terhadap
mereka dan tiada pula mereka berkecil hati ( …….) yaitu mereka adalah
orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa, bagi mereka dianugrahkan
berita-berita gembira didalam kehidupan didunia dan di dalam kehidupan akhirat,
tiadalah perubahan bagi kalimat-kalimat (Janji) Allah, yang demikian itu adalah
kemenangan yang besar.
Dapatlah
diketahui bahwa dunianya para waliyullah itu sebagai berikut ;
Pertama : Rijalullah – dzatul mushthofa : saidina Rasulullah
Muhammad bin ‘abdullah SAW.
1.
Pengganti rijalullah, yaitu wali qutub namanya, ada ………………… 1
Yaitulah
Nabiyullah Khidhir ismu balyan bin Malkan a.s .
Yaitu
penghulunya sekalian para waliyullah
2. wazairun
daripada wali quthub adalah wali ( Amaman ) namanya ada …………………… 3
satu : dikanan
dan satu dikiri, apabila Amaman yang dikanan itu kosong, maka bergeser wali
Amaman yang dikiri.
Menempati
kekosongan yang dikanan menggantikan wali Amaman yang dikanan itu, sedangkan
kekosongan wali Amaman yang dikiri dicukupi oleh penggantinya dari …
3. Wali
Autad namanya ada …………………… 4
seorang
dimasyriq, seorang dimaghrib, seorang disyam.
Seorang
diyaman, bahwasanya wali Autad ini dapat bergeser,
Antara Masyrik
dan Maghrib hanya waktu (7 . menit 15 detik ).
Maka para wali
Autad ini adalah pekerjaannya menjalankan tugas yang paling berat, dan manakala
ada kekosongan salaseorang dari pada wali Autad yang (4) ini maka dicukupilah
oleh pengganti dari ……………………………..
4. Wali Abdal
namanya ada ………………………….40
Dan manakala
ada kekosongan salaseorang daripadanya, maka dicukupi dengan penggantinya dari
5. Wali Akhyar
namanya ada …………………………………..70
Disebut juga
wali nujabau yang manakala ada kekosongan salaseorang dari padanya , maka
dicukupi dengan penggantinya dari
6. Wali Nuqobau
namanya ada ………………………………………….300
Dan manakala
ada kekosongan salasatu dari padanya, maka dicukupi dengan penggantinya dari
7. Wali’Ashoib
namanya ada………… 500 …………….jumlah …. 917…..
‘Ashoib
disebut juga ( Almufariduun ), yaitu mereka min ahli Thoreqat yang dengan
bersungguh-sungguh menjalankan tugas dari pada pemimpin ( shekh almursyid )
untuk menjalankan ( Dzikrullah ) daripada sekalian Lathoif dengan memenuhi
segala syarat-syaratnya peraturan-peraturannya, adab-adabnya meliputi
‘Ilmiyahnya maupun ‘amaliyahnya , telah berkata Rasulullah SAW. :
Asy-syaikhu
fii qaumihi kannabiyyu fii ummatihi,= Artinya : bermula seorang syekh pada
qaumnya (pemimpin dengan pengikutnya)
adalah seperti Nabi pada Umatnya. Firman Allah ta’ala :
Allahu
waliyulladziina amanuu yuhzijuhum min zhulumati ilannuur, walladziina kafaruu
waauliuhumuththoghutu yuhrijunahum minannuuri ilazh-zhulumati, ulaaika ashhabunnari
hum fiha kholiduun (albaqarah-257),= Artinya : Allah itulah wali pemimpin
orang-orang yang mukmin, Allah mengeluarkan mereka itu dikegelapan dikekafiran
kepada cahya Iman, sedangkan orang – orang kafir itu para walinya
(pemimpinnya) adalah Syetan (Thoghuta) yang mengeluarkan mereka
dari cahya terang kepada kegelapankekafiran, mereka itulah penghuni neraka,
kekal mereka didalamnya []. …………
.Rahmat
Mulyadi Taman Bima Permai Blok A 11 Cirebon Jabar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar