Senin, 12 Oktober 2015

Bab : 6 : tajalli



Bab keenam tajalli

Bermula yang dimaksud dengan (tajalli) menurut arti pada lughah tajalla = tampak /nyata, maka mulai dari (takhalli) meninggalkan yakni membuang segala shifat dan perangai yang buruk-lalu (takhalli) memperindah, membaguskan segala shifat, dan perangaizhahir bathin-kemudian dengan itu (tajalli) menampakkan nyata/terang alhaq (gambaran), jadi (tajalli) adalah melihat wujudullah alkhaliq dengan terang dan nyata, iya tidak suatu pun mensukutuinya dan tidak sesuatu pun mendampinginya, melihat dengan mata iman yang yaqiin akan Dzat wajibil wujud yang Ahad, yang wahdah-yang wahid, sehingga tiada antara lagi tuhan dengan hambanya tiada terdinding oleh apa pun, karena segala dinding yang hijab itu pun (makhluq) belaka dan karena Allah ta’ala itu lebih hamfir/lebih dekat daripada urat nadi leher kita : firman Allah ta’ala ; wanahnu aqrabu ilaihi min hablil warid (Qaf-16) artinya : kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.  
Dalam menempuh/jalan thareqat untuk memperoleh kenyataan tuhan (tajalli) berlaku riadhah (latihan2) menguasai diri seperti berkhalawat, berkekalan dzikirullah disertai puasa2 sunah-mengurangi tidur membanyakan tdzakur dan ibadah2 sunat mencapai-
fana –u llahi, fana-u billahi, baqa-u billahi. .
Maka terlebih dahulu untuk merintis kefahaman perlu diketahui ‘ilmunya bahwasanya kesempurnaan dan sempurnanya yang bernama ‘ilmu itu telah diterangkan antara lain telah berkata syaikhuna muhammad ‘azii ahmaduqibni : ketahuilah : kesempurnaan ‘ilmu agama dan sempurnanya yang bernama ‘ilmu : bahwa sesungguhnya menurut pendapat segala ‘ulama shufiatul haqiqiina yang telah berhasil mereka daripada ‘ilmu-ilmunya, bahwasanya yang dinamakan sebenar-benarnya ‘ilmu itu bukanlah suratan yang tertulis dan bukan bahasa dan bukan suara, hanya sanya : yang dinamakan sebenar-benarnya ‘ilmu yaitulah ingat kepada Allah dengan hati yang hening sekali-suci murni.:itulah sebenar-bennar-benarnya ‘ilmu.
Adapun sempurnanya ilmu itu atas empat perkara :
1.      Shabar
2.      Tawakal
3.      Ridha
4.      Ikhlash
Shabar itu menjalankan tugas-tugas yang ringan mupun yang berat daripada Allah subhanahu wata’ala beserta menahan diri daripada segala ujian-ujian, percobaan-percobaan, dan lain-lain sebagainya.
Tawakal yaitu berserah diri zhahir bathin kepada Allah ta’ala daripada hal ihwal yang mengenai dunyawiyah maupun ukhrawiyah : selalu sadar bahwa Allah sajalah yang menunjukkannya dan yang mencukupinya.
Ridha yaitu menerima dan menyambut dengan luas hati yang sepenuhnya segala apa-apa hukum-hukum dan pemberian-pemberian dari Allah subhanahu wata’ala.
Ikhlash  yaitu tiada karena lain-lain hanya karena Allah semata-mata menjalankan daripada segala apa-apa yang diperintah atau yang ditugaskan baik yang ringan maupun yang berat baik itu yang mengenai jasmani maupun ruhani, yang zhahir maupun yang bathin.
Adapun kelakuan ilmu  itu atas empat perkara :
1.      Tawadha’  merendahkan diri zhahir dan bathin.
2.      Shidiq yakni benar-benar lurus hendaknya dalam segala hal.
3.      Lapang hati yakni hendaknya selalu menghilangkan segala apa yang susah.
4.      Berjama’ah yakni hendaknya bersama-sama orang mukmin disegi ibadatnya.
Itu sesuai dengan sabda rasulullah saw, Innama bu’itstu li-utammima makarimal-akhlaq.
Artinya : sesungguhnya hanya sanya daku ini dibangkitkan kealam dunia untuk menyempurnakan segala kemulyaan akhlaq / kelakuan. 
Ketahuilah sempurnanya yang bernama ilmu.
1.      bermula sempurnanya ilmu itu : hendaknya mengetahui ashalnya ilmu yang melihat dan yang dilihat, oleh karena itu melihat dan yang dilihat itu tidak ada bedanya. Adapun yang melihat itu adalah (Dzat) dan yang dilihat itu adalah (Shifatnya)
2.      lagi pula hendaknya tau yang berkata dan yang dikata, maka itu wujud tunggal yakni bahwasanya wujud tunggal itu tiada berpindah /tiada berpisah bagaikan daging dengan kulit.
3.      dan sempurnanya kata itu adalah :
 (Dzatku Dzattullah Wujudku Wujudullah, shifatku shifatullah, rupaku rupaullah, namaku Asma-ullah, pengucapku kalamullah), yaitu yang berdiri kepada Allah..jangan syak lagi dengan kata-kata ini, perhatikan firman Allah ta’ala dalam hadits qudsti :
 layazallu ‘abdii taqarrabu ilayya binnawafili hatta uhibbahu faidza ahbabtuhu kuntu sam’ahulladzii yasma’ubihi wabasharahulladzii yubshiru bihi wayadahullatii yabthisu bihaa warizlahullati yamtsi biha walain la—u’thianahu walainis ta’adzanii la-usiidanahu.
Artinya : tiadalah berputus (berkekalan) hambaku mendekatkan diri kepada kami dengan ‘amal-amal (sunat2) sehingga kami cinta padanya, maka bila kami telah cinta padanya jadilah kami pendengarannya yang dengan itudia mendengar, jadilah kami penglihatannya yang dengan itu dia melihat, jadilah kami kami lidahnya yang itu dia berkata, jadilah kami tangnya yang dengan itu dia menghajar, jadilah aku kakinya yang dengan itu dia berjalan, an manakala mereka berlindung pada kami segera kami lindungi dia………………………..
Hal mana juga digambarkan dengan kata-kata ahli ‘arifiina billah : man ‘arafallaha laa yahfaa ‘alaihi sya-iun. artinya : barangsiapa mengenal Allah dengan sebenar-benar mengenal niscaya tiak tersembunyi atasnya sesuatu apapun juga.
Maka allah subhanahu wata’ala mengaruniakan kepadanya (ilmu laduni) yaitu ilmu yang di ilhamkan oleh Allah kedalam hati hambanya dengan tiada melaui teleqin dan tiada be’at ijajah daripada masyaikhu, yaitulah ilmu yang tetap tiada hilang tiada lupa lagi, jadilah orang yang mempunyai ilmu itu yang disebut orang ilmu yang sebenar-benarnya sebagaimana yang tersebut dengan firman Allah ta’ala :

wa’allamnahu min lladunna ilman (alkahf 65)

artinya : dan kami ajarkan dia langsung dari sisi kami akan ilmu. ……..

Telah berkata Syekh ahmad bin muhammad al-iskandari :

 syu’a’ul bashirati yusyhiduka qurbahu minka, wa’ainul basharati yusyhiduka ‘adadamaka liwujudihi, wahaqqul bashiirati yusyhiduka wujudahu laa’adamaka walau wujudaka.

Atinya : sinar mata hati itu dapat memperlihatkan kepadamu dekatnya Allah kepadamu, dan mata hati itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ketiadaanmu karena wujudnya Allah dan haqeqat matahati itulah yang menunjukkan kepadamu hanya wujud Allah semata-mata, bukan ‘adamnya kamu dan bukan pula wujudnya kamu, syu’a-ullbashrati yaitu cahya ‘aqal, ‘ainalbashirah yaitu cahya ilmu dan haqulbashrah yaitu cahya ilahi.

Maka orang-orang yang menggunakan ‘aqal, mereka masih merasa adanya dirinya dan dekatnya kepada tuhannya (yakni Allah selalu meliputi mereka dan mengurung mereka), sedangkan orang=orang yang menggunakan nurul ilmi merasa dirinya tidak ada jika dinding yang dengan adanya Allah.
Dan ahli haqeqat hanya melihat kepada Allah dan tidak melihat apa pun disampingnya, bukannya mereka tidak melihat adanya ‘alam sekitarnya tetapi karena ‘alam sekitarnya itu tidak berdiri sendiri tetapi selalu berhajat kepada Allah, maka adanya ‘alam ini tidak manarik perhatian mereka, karena itu mereka menganggap bagian tak ada.

Kanallahu walaa syai-a ma’ahu wahuwal-ana ‘alaa ma’alaihi kana.

Artinya : adalah Allah dan tiada sesuatupun disampingnya dan dzatnya kini tetap sebagaimana adanya demikian contoh maqam fana : tiada melihat sesuatu kecuali Allah jua, itulah pandangan orang ahli mhaqeqat yang mendapat (tajalli), tidak melihat adanya sesuatu yang apat disebut disamping Allah.
Justru itu puncak daripada perjalanan thareqat adalah (tajalli) yaitu dekat : sampai pada maqam pana-u atau disebut juga maqam (baqa-ubillah), maka perhatikanlah fatwa ini :

latarahal min kunin fatakuuna kahimaraarahaa yasiiru walmakanaulladzii artahala ilaihi wahuwalladziir tahala minhu walakina irhal minal-akwani ilaalkawwini wainna ilaa rabbikalmuntahaa. 

Artinya janganlah berpindah dari satu ‘alam ke’alam yang lain berarti sama dengan keledai yang berputar-putar sekitar penggilingan ia berjalan menuju ketempat tujuan, tiba-tiba itulah tempat yang ia mula-mula berjalan padanya, tetapi hendaklah engkau berangkat pergi dari semua ‘alam menuju kepada pencipta ‘alam2 semua ini, sesungguhnya hanya kepada tuhanmulah puncak segala tujuan.
Maksudnya : janganlah berpindah dari …..yang terang ke’alam …..yang samar. ‘amal kebaikan yang masih dinodai oleh ria, sam’ah ( mengharap pujian mekhluq) tidak dianggap oleh syare’at, tidak diterima oleh Allah,…dan apabila telah bersih dari semua itu, lalu ada terdorong oleh karena menginginkan kedudukan atau kekayaan atau kekeramatan dunia atau akhirat, itu masih termasuk ‘alam hawa nafsu dan belum mencapai tujuan (ikhlash) yang berarti mestinya bersih dari segala tujuan yang selain melulu hanya kepada Allah.
Oelh karena itu dikatakan : selama masih berpindah-pindah dari ‘alam ke‘alam tidak berbeda dengan keledai yang berjalan berputar-putar, sekitar penggilingan, dari situ juga dia, bolak-balik ketitik permulaan dia berangkat tadi mestinya : sekali berangkat langsung menuju pencipta ‘alam, walau mesti melewati titan-titian dan tanjakkan-tanjakkan, firman Allah ta’ala :

wa anna illaa rabbikalmuntahaa (an-ajmu 42).

 Artinya sesungguhnya kepaa tuhanmulah puncak dari segala tujuan.
Bahwasanya barangsiapa yang telah mendapatkan Allah berarti : telah mencapai segala sesuatu baik urusan dunia maupun urusan akhirat,
Maka berkata syaikhu abu yaziid al-bishthami : jikalau Allah menawarkan kepadamu akan diberinya kekayaan dari (‘Arsy) sampai ke (Bumi) maka katakanlah ; bukan itu ya Allah, tetapi hanya engkau ya Allah tujuanku.
Jalan menuju (tajalli) ditunjukkan oleh ahli haqeqat dengan katanya :

alhaqqu laisa bimahjuubin wainnamal mahjuubu anta ‘aninnazhiri ilaihi, idz lau hajabahu syai-un lasatarahu mahajabahu walaukana lahu satirun lakana liwujudihi hashirun wakullu hashirin lisyai-in fahuwa lahu qahirunn, wahuwalqahiru fauqa ‘ibadihi.

Artinya : alhaq yaitu Allah ta’ala tiada terhijab oleh sesuatu apapun sebab tiak mungkin adanya sesuatu yang dapat menghijab Allah ta’ala, sebaliknya manusialah yang terhijab sehingga tidak dapat melihat wujudullah, sebab sekiranya ada sesuatu yang menghijab Allah berarti wujudullah dapat terkurung (dan itu mustahil) sebab sesuatu yang mengurung itu dapat menguasai yang dikurung, padahal Allah yang maha berkuasa atas semua makhluq,
Bagaimana manusia yang terhijab sehingga dia tidak dapat melihat akan wujudullah? Untuk dapat mengerti jawabannya, maka ketahuilah, bahwa shifat-shifat manusia yang berhubungan dengan faham agama terbagi dua :
1.      lahir yaitu yang dilakukan dengan anggota jasmani
2.      bathin yaitu yang berlaku dalam hati ruhani, sedangkan yang berhubungan dengan anggota lahir juga terbagi lagi dua
1.      yang sesuai dengan perintah bernama tha’at
2.      yang menyalahi perintah bernama ma’shiat, demikian pula yang berhubungan dengan hati terbagi dua :
1.      yang sesuai dengan haqeqat kebenaran itu bernama iman dan ilmu
2.      yang berlawanan dengan haqeqat kebenaran bernama nafaq dan kejahilan.
Shifat-shifat rendah yang buruk seperti : hasud-iri hati-dengki-sombong-mengadu domba-merampok-dan gila pangkat-gila dunia-thama’-rakus dan sebagainya menumbuhkan cabang-cabangnya berupa permusuhan-kebencian-merendah terhadap orang kaya-menghina orang miskin-bermuka2muka-sempit dada-hilang kepercayaan terhadap kepercayaan Allah-kejam-tidak kenal malu dan lain2 sebagainya……
Apabila seseorang telah dapat mengusir dan membersihkan diri dari shifat-shifat yang rendah itu yang bertentangan dengan kehambaan itu maka pasti dia akan sanggup menerima dan menyambut tuntunan tuhan baik yang langsung dalam ayat-ayat al-quran atau berupa tuntunan dan contoh yang diberikan oleh rasulullah saw, dan dengan demikian arti dia telah mendekat kehadhirat tuhan.
Adapun shifat ‘ubudiyah atau yang disebut shifat kehambaan itu ialah patuh tha’at terhadap semua perntah dan larangan, mengerjakan perntah dan meninggalkan larangan tanpa membantah dan tanpa merasa keberatan. Justru itu perhatikanlah kata-kata ahli ma’rifat :
Laa tatruki dza-dzikra li’adami hudhurika ma’allahi fiihi, lianna ghaplataka fii wujudidzikrihi,fa’asaa antarfa’aka mindzikri ma’a wujudi ghaflatin ilaa dzikri ma’a wujudi yaqazhatin,wamin dzikrin ma’a wujudi yaqazhatin ilaa dzikrin ma’a wujudi hidhurin, wamin dzikrin ma’a wujudin hidhurin ilaa dzikrin ma’a wujudi ghaibatin ‘ammaa siwalmadzkuri, wama dzalika ‘alaallahi bi’aziizi.

Artinya p; janganlah meninggalkan dzikir karena engkau belum selalu mengingati allah diwatu berdzikir, sebab kelalaianmu terhaap Allah dikala tidak berdzikir lebih berbahaya daripada kelalaian terhadap Allah di waktu berdzikir, semoga Allah menaikan derajatmu daripada zikir dengan kelalaian kepada dzikir yang disertai ingat/sadar terhadap Allah, lalu naik pula dari dzikir dengan kesadaran ingat kepada tingkat dzikir yang disertai rasa hadhir dan dari dzikir yang disertai rasa hadhir naik kepada dzikir hingga lupa terhadap segala suatu selain Allah, dan yang demikian itu bagi Allah tidak sukar, berpindah naik dari satu tingkat kelain tingkat /derajat dzikir adalah satu-satunya jalan terdekat yang terdekat menuju kepada Allah bahkan yang sangat mudah dan ringan.
Syaikhu abulqasim al-qasyairi berkata : dzikir itu perlambang wilayah (kewalian) dan pelita penerangn untuk sampai (pada Allah) ddan tanda shehat permulaannya, serta menunjukkan jernih akhir puncaknya, dan tiada satu ‘amal yang menyamai dzikir, sebab segala ‘amal perbuatan itu ditujukan untuk berdzikir, maka dzikir itu bagaikan jiwa dari segala ‘amal. Seangkan kelebihan dzikir dan keutamaannya tak dapat dibatasi.

Firman Allah ta’ala : fadzkurunii adzkurkum (al-baqarah-153),

artinya : berdzikirlah kalian kepada kami, pasti kami berdzikir pada kalian.

Syaikhu ‘abdullah bin ‘abbas r.a, berkata : tiada kewajiban yang diwajibkan oleh Allah kepada hambanya melainkan ada batasannya, kemudian bagi orang yang ‘udzur dimengapaka bila tidak dapat melakukannya kecuali : dzikir. Maka dzikir tidak ada batas dan tidak ada ‘udzur yang apat diterima untuk tidak mengerjakannya, hanya satu yaitu berubah ‘aqal atau tidak beraqal/gila., perhatikanlah keterangan bagan ini .


 

Telah berkata ahli shufiyah : qalbu ghaibun (hati ghaib) warabbu ghaibun dan (tuhan ghaib), qalbun qasii kalbaha-imi bighairi ‘amali-hati yang keras seperti binatang tanpa memperbuat sesuatu,
Adapun lisan (lidah kita itu juru bahasa hati),
Adapun hati itu tempat hidayah,
Adapun hidayah itu adalah cahya, dan yang dinamai hidayah itu shifat ma’ani yang (7) :
1.      Qudrat
2.      Iradat
3.      ‘Ilmu
4.      Hayat
5.      Sama’
6.      Bashar
7.      Kalam
Yaitulah yang nyata kepada hati yang bangsa nurani, dan yang bangsa nurani itulah cahya yang berhubungan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Tersebut didalam hadits qudsi, bahwa Allah berfirman :
Maan ra-aanii faqad ra-alhaq = artuinya : barangsiapa yang melihat kami sesungguhnya dia melihat yang haq.
Dan bersabda rasulullah saw, ra-aitu rabbii fii ahsani shurati = artinya : daku melihat tuhanku didalam sebagus-bagus rupa.
Dan lagi sabdanya : ‘Araftu rabbii birabbii = artinya : daku mengenal tuhnku dengan tuhanku.
Dan berkata pula sayyidina ‘alii r.a, ra-aitu rabbii bi’aini qalbii, faqultu laasyakka anta anta = artinya : aku melihat tuhanku dengan mata hatiku, dan aku pun berkata : tidak syak lagi : yang engkau itu, adalah engkau tuhan.
Qalallahu ta’ala : mazhaharat fii syai-in kazhahuri fiil insani = artinya : tiada nyata pada sesuatu seperti nyatanya pada manusia.
Wallauhu ‘alam bish-shawab : tamat

Tidak ada komentar: